Bulu babi (sea urchin) selama ini dianggap sebagai hewan pengganggu di
laut. Durinya yang beracun membuat bulu babi disingkirkan jauh-jauh.
Namun, Yuri Pratama Widiyana menemukan nilai emas pada bulu babi da
membudidayakannya bersama para nelayan, agar mereja memiliki hidup yang
lebih baik.
Pria kelahiran Jakarta, 15 Juli 1984 ini sedang melakukan riset
eco-tourism ke Pulau Menjangan, Gilimanuk, Bali, saat ia melihat nelayan
di sana membersihkan karang-karang dari bulu babi, kemudian dikubur
atau dibakar. Tujuannya, agar tidak terinjak oleh wisatawan.
Sepulangnya dari Pulau Menjangan, secara tidak sengaja ia menonton
sebuah acara TV yang menayangkan liputan anak-anak nelayan Karimunjawa
yang suka makan telur bulu babi mentah-mentah! Cangkang hewan berbentuk
bulat, berwarna hitam, dan memiliki duri-duri seperti landak ini
dipecahkan, kemudian isi di dalamnya mereka makan! Jika bisa dimakan,
berarti bulu babi bisa dijual, demikian ide bisnis ini bermula.
Ia kemudian melakukan pencarian lebih lanjut tentang manfaat bulu babi.
Ia menemukan bahwa seluruh bagian tubuh bulu babi memiliki nilai
ekonomi. Telurnya dapat dikonsumsi, cangkangnya bisa dijadikan bahan
baku kerajinan tangan atau tepung pakan ternak. Ususnya bisa disulap
jadi pupuk organik, dan proteinnya sangat tinggi sehingga cocok untuk
menjadi suplemen kesehatan.
Penemuan yang paling penting adalah di negara-negara seperti Jepang,
Irlandia, Finlandia, Australia, dan lainnya, bulu babi dikonsumsi dan
harganya yang mahal! Jepang sendiri mengimpor 80.000 ton bulu babi per
tahunnya, berasal dari Amerika Serikat (48,5%), Korea Selatan (20,6%),
Kanada (7,6%), Chile (7,4%), China (6,6%), Korea Utara (3,9%) serta
Rusia (3,6%), dengan total nilai pasar bulu babi secara global sebesar
US$ 200 juta. Sayangnya, Indonesia yang lautnya sangat luas ini tidak
mengekspor bulu babi.
Berbekal penelitian lama tentang cara budidaya dan pengolahan bulu babi
yang ia temukan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ia
memulai pembudidayaan bulu babi di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Yuri
memilih memulai dari Kepulauan Seribu karena ia melihat para nelayan
mengalami berbagai permasalahan baik sosial atau lingkungan, seperti
sistem perdagangan yang tidak sehat, biaya melaut yang tinggi plus
resiko tinggi saat melaut, serta kerusakan lingkungan.
Salah satunya adalah sistem tangkap ikan yang disebut "Murami". Para
nelayan menangkap ikan di terumbu karang dengan cara menyelam tanpa
peralatan keamanan yang standar. Akibatnya, tingkat kematian cukup
tinggi terjadi di kalangan nelayan, plus kerusakan lingkungan akibat
terumbu karang yang terinjak-injak.
Dengan membudidayakan bulu babi di daerah pesisir pantai, para nelayan tidak perlu melaut dengan cara yang beresiko seperti itu. Tidak mudah pada awalnya, karena membudidayakan bulu babi tidak memberikan hasil instan, sedangkan para nelayan sudah terbiasa ,mendapatkan hasil instan dari pergi malam pulang pagi membawa ikan. Pendekatan terus dilakukan, awal-awal ia mendapatkan lima orang nelayan saja yang mau bekerja sama di bawah Urchindonesia.
Panen pertama adalah 50 kg telur, Yuri menawarkan telur ini ke
restoran-restoran Jepang, namun ditolak karena mereka biasa mengimpor
dari luar negeri. Kesulitan keuangan pun dihadapi karena biaya produksi
tinggi dan penjualan yang seret. Dua partner Yuri mengundurkan diri,
produksi pun ditutup sementara. Saat ia sudah menyerah, seorang teman
menginformasikan mengenai acara Wismilak Diplomat Success Challenge,
sebuah kompetisi enterpreneurship yang ditayangkan di televisi. Berhasil
mengatasi semua tantangan, ia menang dan mendapatkan modal untuk
kembali menghidupkan Urchindonesia.
Memiliki visi mengembangkan generasi "Nelayanpreneur", Urchindonesia
kini beroperasi di Kepulauan Seribu (Pulau Tidung, Pulau Panggang, dan
Pulau Pari), serta memiliki mitra budidaya di Bali, Lombok, Karimun
Jawa, dan sebagainya. Dari segi pemasaran, berbagai restoran Jepang dan
supermarket mengambil suplai dari Urchindonesia. Sebuah perusahaan
farmasi di Semarang juga membuat suplemen protein dari bulu babi. Ke
depannya, Urchindonesia mengembangkan konsep integrated multi tropical
aquaculture bekerja sama dengan berbagai pihak mulai dari lembaga
internasional, universitas, LSM dan sebagainya.
Sumber : Buku 101 Young CEO
Sumber : Buku 101 Young CEO
0 komentar:
Posting Komentar